Masuk ke Pasar Kanoman, terasa suasana keratonnya masih kental. Terlihat dari beberapa ornamen lampu jalan misalnya. Nah, begitu masuk lorong-lorong pasar, baru deh terasa bau khas pasar tradisional. Kalau dihitung-hitung, mungkin sudah ada 8 tahun saya tidak pernah menginjakan kaki ke pasar tradisional.Sebetulnya rata-rata apa yang dijajakan di pasar tradisional juga ada di jual di supermarket-supermarket ternama. Jadi kalau untuk saya, agaknya tidak ada alasan yang kuat mengapa harus berbelanja di pasar tradisional. Mending di supermarket, tidak bau, tidak pengap dan sejuk. Tapi biar bagaimana, pasar tradisional ya tetap saja memiliki pelanggan juga. Saya sendiri sih yakin, sebagian besar anak muda sekarang pasti malas masuk pasar tradisional
Di Cirebon sendiri, ada beberapa pusat perbelanjaan kategori menengah atas, yaitu Grage Mall, Alfa, dan Yogya Toserba. Sebentar lagi akan dibangun Cirebon Super Blok. Katanya ini akan menjadi perbelanjaan terbesar di Cirebon. Letaknya hampir berdampingan dengan Alfa. Tidak didapat informasi, apakah akan ada hyperstore macam Carrefour atau tidak di Cirebon Super Blok tersebut? Tapi kalau ada, ya siap-siap saja mal-mal lainnya kebakaran jenggot menghadapi serangan hypermarket tersebut. Kalau mal-mal yang sudah ada saja bisa ketar-ketir, apalagi dengan pasar dan toko tradisional? Saya sempat berkeliling dan melihat ada beberapa pertokokan di Cirebon yang tutup
TEMPO Interaktif,
Cirebon: Pasar Kanoman yang terletak di Kota Cirebon akan direvitalisasi menjadi pasar wisata budaya. Anggaran senilai Rp 1,3 miliar pun sudah disiapkan.Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar, Agus Gustiar, saat kunjungan Wakil Gubernur Jabar di Kota Cirebon.
Pasar Kanoman di pusat Kota Cirebon, kini menjadi salah satu sentra perdagangan bagi masyarakat setempat. Sebagaimana pasar, maka seluruh barang kebutuhan masyarakat keseharian dijajakan, dari mulai buah-buahan, sayuran sampai pada barang kebutuhan rumah tangga lainnya.
Bahkan untuk ukuran Cirebon dan daerah di Wilayah III Cirebon lain meliputi Kab Indramayu, Majalengka dan Kuningan, selain masyarakat Cirebon sendiri (kota dan kabupaten:Red.), Pasar Kanoman dikenal memiliki ciri tersendiri. Yakni pasar yang menyediakan segala macam buah lokal, serta pasar khusus untuk segala macam kain atau konveksi.
Bersama perjalanan waktu, seiring dengan mewabahnya gaya hidup hedonis dan konsumtif masyarakat Cirebon, ketika orang berbicara "Kanoman", maka asosiasi yang pertama muncul di benak masyarakat ialah pasar. Sebuah fasilitas umum yang menyediakan beragam barang kebutuhan, bagi rata-rata wanita di Wilayah III Cirebon,
asosiasinya bahkan lebih spesisik lagi, yaitu pusat perbelanjaan kain dan segala macam barang konveksi.
Kanoman di benak masyarakat tidak lagi diidentikan dengan kerajaan atau kesultanan. Bahkan sebagian besar masyarakat mengaku tidak tahu kalau kata "Kanoman" atau "Pasar Kanoman" itu mengambil dari nama sebuah kerajaan (kesultanan), tidak sedikit masyarakat yang mungkin belasan kali belanja di Pasar Kanoman, tapi tidak tahu kalau di belakangnya itu ada sebuah bangunan besar berusia ratusan tahun yang bernama Keraton Kanoman.
Hal di atas menunjukan bahwa Keraton Kanoman, atau Kanoman sebagai sebuah entitas kekuasaan tradisional (kesultanan), sudah sedemikian kalah pamor dibanding dengan pasar yang justru usianya jauh lebih muda. Keraton Kanoman yang dirintis abad 13 dan dibangun Pangeran Kartawidjaya atau Sultan Kanoman I pada thn 1677, sepertinya telah kehilangan aura kekuasaannya.
Padahal, Keraton Kanoman pada masa lalu memiliki cerita kepahlawanan tersendiri. Bahkan diantara keraton-keraton di Jabar, khususnya Cirebon, Kanoman satu-satunya keraton yang secara politik dan militer ernah sangat ditakuti dan disegani pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa lalu, Kesultanan Kanoman menjadi pusat dari peradaban Islam di Cirebon. Dari keraton yang memiliki luas sekira 5 ha itu, keturunan Sunan Gunung Djati atau yang disebut dengan Kanjeng Sinuhun Djati, terus melakukan penyebaran Agama Islam.
Dari keraton itu pula, lahir beberapa ahli agama yang berdiam di Pengguron Keprabonan (bagian dari Keraton Kanoman), antaranya yang mashur ialah Syekh Sholeh Benda Kerep. Ahli-ahli agama itu juga merintis berdirinya pesantren-pesantren besar yang sampai sekarang sangat disegani, antaranya Buntet, Gedongan, Babakan,
Ciwaringin sampai Kempek.
Dari pondok-pondok pesantren itu, berbagai ilmu agama atau pengetahuan umum lain disebarkan. Sampai kemudian lahirlah putra-putra bangsa pilihan yang berani secara politik dan militer menentang dominasi kolonialisme Belanda.
Pada masa silam, Keraton Kanoman menjadi semacam "duri dalam daging" bagi penjajah Belanda. Gerakan perlawanan terhadap
Belanda, banyak disponsori dan disokong oleh pejuang-pejuang dari Keraton Kanoman, termasuk para sultan dan punggawa-punggawa keraton tersebut. Perlawanan dari Keraton Kanoman membuat Belanda kerepotan dan kewalahan. Apalagi, gerakan perlawanan itu memperoleh banyak simpati dari masyarakat Cirebon, dan yang paling ditakuti, perlawanan Keraton Kanoman itu akan mempengaruhi keraton-keraton lain di Cirebon seperti Keraton Kasepuhan.
Karena itulah, Belanda terpaksa harus melumpuhkan Keraton Kanoman, secara politik maupun militer. Dengan berbagai cara dilakukan Belanda melumpuhkan pengaruh Keraton Kanoman, dari mulai politik pecah belah (devide et impera) sampai cara paling kasar, ialah pemaksaan dibangunnya pasar dan gedung bioskop persis di depan alun-alun Keraton Kanoman.
Dengan dibangunnya pasar, Belanda ingin memutus jaringan Keraton Kanoman dengan kelompok-kelompok perlawanan. Melalui pasar itu pula, Belanda lebih leluasa melakukan infiltrasi mata-mata (telik sandi) untuk memantau serta menyerap informasi setiap gerakan Keraton Kanoman.
Mengenai bioskop yang sekira thn 1975, dibongkar jadi gedung pasar kain berlantai II (namanya Bioskop "Garuda"), Belanda ingin meruntuhkan moral masyarakat di sekitar keraton (magersari) yang dicurigai sebagai pejuang perlawanan Belanda. Penjajahan budaya ala Belanda dilakukan secara intensif, yakni dengan memutar film-film bernuansa barat.
Pendeknya, Keraton Kanoman telah dijepit secara politik, sosial maupun kebudayaan. Usaha Belanda itu ternyata berhasil, dengan adanya pasar yang mendatangkan kotoran dan kekumuhan, serta gedung bioskop yang meruntuhkan moral masyarakat Magersari maupun Cirebon umumnya, Keraton Kanoman akhirnya terkucil.
Pergerakan perlawanan terhadap Belanda pun reda bersamaan dengan makin berkembangnya pasar dan gedung bioskop. Masyarakat tidak lagi mempedulikan soal penjajahan, mereka lebih suka melihat film-film Eropa, di sisi lain, jaringan Keraton Kanoman dengan pejuang-pejuang anti Belanda menjadi putus.
Sejak Belanda melakukan pembunuhan kultural dan politik itulah, kegagahan Keraton Kanoman hilang. Pamornya pun kemudian memudar, Kesultanan Kanoman yang semula disegani menjadi penyokong gerakan perlawanan terhadap Belanda, menjadi lebih sibuk dengan urusan-urusan internal, sejak itu pula, benih-benih konflik diantara para kerabat dan keluarga Sultan Kanoman mulai tumbuh subur.
0 comments:
Post a Comment