KLENTENG Jamblang Vihara Hok Tek Ceng Sin Jl. Klenteng Jamblang Kab. Cirebon Jabar merupakan salah satu klenteng yang ada di wilayah Kabupaten Cirebon, yang keberadaannya sangat berarti bagi masyarakat Tionghoa Jamblang. Di wilayah itu, Klenteng Jamblang menjadi satu-satunya tempat ibadah bagi masyarakat Tionghoa, yang sejak beberapa tahun belakangan terdesak jauh dari kejayaan yang pernah mereka raih puluhan tahun sebelumnya.
Klenteng yang juga diakrabi masyarakat sekitarnya dengan sebutan rumah Toa Pe Kong Jamblang ini bahkan menjadi sebuah identitas masyarakat Tionghoa Jamblang. Gapura yang merupakan bagian dari Klenteng Jamblang seolah berdiri sebagai pintu masuk perkampungan masyarakat Tionghoa di wilayah ini.
Dari terjemahan catatan sejarah berhuruf Tionghoa yang dikutip Siem Peng Wan, berdasarkan tulisan yang tercantum di kedua dinding Klenteng Jamblang, sebuah peribahasa bijak menyebutkan, “Orang yang pandai membangun lebih berharga kalau pandai juga melaksanakan. Sedang orang yang pandai melaksanakan lebih berharga pula kalau pandai mempertahankan”.
Kalimat inilah yang menjadi pendorong semangat masyarakat Tionghoa Jamblang untuk menjaga dan melestarikan keberadaan Klenteng Jamblang. Meski tak ada catatan resmi siapa yang membangun klenteng tersebut dan tidak ada seorangpun yang dapat menerangkan secara detail, namun warga sekitar menyatakan Klenteng Jamblang telah berusia ratusan tahun.
Dengan usia tua tak heran bila kondisi bangunan klenteng mengalami kerapuhan di sana sini. Maka, pada tahun 1785 hingga 1900 atau selama 115 tahun, penduduk Jamblang dan sekitarnya pernah melakukan urunan untuk perbaikan klenteng.
Pada perjalanannya, perbaikan klenteng ini pernah mengalami situasi tak menguntungkan, tepatnya tahun 1806 ketika di sekitar Jamblang timbul pergolakan yang menyebabkan keributan. Penduduk Jamblang saat itu hanya beberapa ratus orang pria dan wanita.
Namun kondisi itu berhasil diatasi dengan persatuan warga sekitar yang disokong penguasa setempat. Namun, tidak berhenti sampai di situ karena pada masa penjajahan Belanda, pergolakan terjadi di mana-mana termasuk wilayah Jamblang.
Banjir bandang
Selain pergolakan masyarakat akibat penjajahan, faktor alam juga pernah berpengaruh dalam perjalanan perbaikan Klenteng Jamblang. Seperti tahun 1889 ketika hujan lebat terus menerus telah menyebabkan Kali Jamblang meluap dan menciptakan banjir bandang.
Air kali pun serta merta memenuhi selokan dan saluran, bahkan merendam jalanan setinggi 5-6 kaki dan rumah-rumah penduduk setinggi 6-10 kaki. Sementara di klenteng, rendaman air setinggi 1,5 kaki saja.
Derasnya banjir membuat tembok rumah penduduk, juga blandongan gerbang klenteng pun runtuh. Gubuk-gubuk yang awalnya berdiri di sekitar jalanan hanyut terseret banjir.
Meski tak ada korban jiwa dalam malapetaka ini, barang berharga seperti uang dan surat-surat yang tersimpan di dalamnya basah kuyup serta rusak parah. Hal ini kemudian melahirkan gagasan pengurus klenteng membuat sebuah kamar khusus penyimpanan.
Tahun 1895 atau bulan 7 Imlek, berdirilah perhimpunan Hiang Gie Hwe. Tahun 1899, dibangun Tiong Teng di tempat pekuburan, memperbaiki kedua blandongan di sebelah kanan-kiri klenteng. Selain itu, sebuah WC umum di tepi sungai diubah menjadi pejagalan hewan yang diperuntukkan sebagai pemasukan kas klenteng.
Akhirnya tahun 1900, Klenteng Jamblang mengalami perbaikan dengan tetap mempertahankan ukuran dan luas klenteng seperti asalnya. Begitu juga dengan kayu wuwungan atau atap tetap seperti asli. Hanya pondasi yang dipertinggi dan menebalkan dindingnya.
Cerita menarik berkisar pada kayu wuwungan-nya yang tidak pernah berubah, meski klenteng itu sendiri mengalamai perbaikan dan perubahan di sana sini. Menurut catatan, wuwungan itu berasal dari sebuah pohon keramat yang tumbuh di daerah Jatiwangi yang tak dapat ditumbangkan dengan perkakas apapun.
Hanya seseorang bernama Njoo Kiet Tjit atau yang kemudian dikenal sebagai Ki Buyut Cigoler-lah yang kemudian berhasil menumbangkan pohon tersebut. Ia mempersembahkan kayu pohon kepada Sultan Agung Cirebon yang tengah mencari kayu untuk pembangunan Masjid Agung. Ia juga memmohon pada sultan untuk menyisakan sepotong kayu balok dari pohon itu untuk wuwungan Klenteng Jamblang yang saat itu sedang dibangun. Hingga kini, wuwungan itu tak pernah rusak.-Erika Lia L/MD
sumber http://www.mitra-dialog.com
0 comments:
Post a Comment