<data:blog.pageTitle/> <data:blog.pageName/>
Showing posts with label Seputar Pasar Cirebon. Show all posts
Showing posts with label Seputar Pasar Cirebon. Show all posts

Monday, June 21, 2010

Keaneka Ragaman batik Indonesia

Ketua Yayasan Batik Jawa Barat, Sendy Ramania Dede Yusuf mengatakan, Jawa Barat memiliki 200 motif batik yang model dan coraknya sesuai dengan masing-masing kabupaten. Sendy mengatakan, 200 motif berasal dari kabupaten-kabupaten yang ada di Jawa Barat itu telah dimuat dalam buku saku dan buku tersebut telah dipasarkan sebagai panduan dan ilmu pengetahuan untuk masyarakat yang ingin mengenal batik dari Jawa barat.

"Sudah ada 200 motif dari Jawa Barat yang sudah kita bukukan dibuat dalam bentuk buku saku sebagai panduan kepada pengrajin,: katanya kepada ANTARA News, di sela-sela kunjungannya di Gedung Balai Kota Bogor, Senin. Sebenarnya, jumlah motif di Jawa Barat bisa lebih dari 200, namun yang baru didata dan dikumpulkan oleh Yayasan Batik Jawa Barat hingga dibuat buku saku.

"Rencananya Desember kita akan me-launching 250 motif baru yang akan dibuat lagi buku sakunya," kata Sendy. Sendy mengatakan, daerah Cirebon memiliki corak batik yang paling banyak, yakni sebanyak 200 motif batik yang menambah jumlah motif batik di Jawa Barat.
Menurut Sendy, motif batik di Jawa Barat memiliki keunikan dan corak tersendiri, seperti di Bogor terdapat motif "hujan gerimis" dan "kujang kijang" menunjukkan ciri khas Bogor sebagai kota hujan.
Untuk menjaga batik khas tiap daerah tersebut terjaga kelestariannya, Yayasan Batik Jawa Barat bersama para pengusaha batik bersama-sama menginventarisir kembali batik-batik khas daerah-daerah di Jawa Barat. "Kita menginventarisir kembali batik-batik khas di 26 kabupaten dan kota di Jawa Barat," tutur istri Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf ini kepada detik.com

Lebih lanjut Sendy menuturkan kalaupun jika ada daerah-daerah yang tidak memiliki batik khas, maka akan dicari ciri khas daerah tersebut yang bisa diangkat, misalnya tenun. Dalam upaya inventarisasi ini, pihaknya dibantu oleh pengusaha dan desainer-desainer yang concern dalam mengembangkan batik.

Sendy mencontohkan, pamor Batik Garutan yang memang lebih populer daripada batik lainnya di Jabar, bukan karena batik Garutan memiliki kelebihan dibandingkan batik lainnya, tapi Batik Garutan belum punah. Banyak pengusaha yang terus menjaga keberadaan Batik Garutan ini.

Jika inventarisir sudah dilakukan, Sendy berharap bisa membuat balai batik dari seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Balai ini bisa jadi aset wisata bagi turis mancanegara yang ingin lebih tahu mengenai batik. Meskipun diakui Sendy dalam proses inventarisasi ini tidak ada target jangka waktu tertentu.

Untuk menjaga agar batik tetap lestari, salah satu caranya dengan lebih menyesuaikan batik baik dari corak maupun warnanya dengan selera pasar saat ini. Selain itu, nantinya bisa diperlihatkan proses membuat batik dari mulai menenun sampai bisa di tampilkan oleh para desainer dalam bentuk peragaan busana.
facebook : http://www.facebook.com/pages/Yayasan-Batik-Jawa-Barat/241982404037
foto : koleksi facebook yayasan batik jawabarat
sumber : antara, detik.com
Readmore »

Wednesday, August 26, 2009

Pasar Pisang Kalitanjung


Sejumlah pedagang kaki lima di sepanjang Jl Kalitanjung saat ini mulai kembali menjajakan dagangannya tidak hanya di trotoar tapi juga sudah masuk ke badan jalan.

Penertiban pedagang kaki lima oleh Satpol PP beberapa bulan lalu tampaknya hanya gertak sambal buat para pedagang. Meskipun pada penertiban terdahulu petugas melakukan pengangkatan sejumlah lapak dan mengancam keras akan membongkar paksa jika kembali jualan di jalan, namun hal itu tampaknya hanya berlaku sebentar saja.
Pantauan BeritaCerbon.com, beberapa pedagang rambutan, pedagang pisang sampai pedagang VCD dan DVD bajakan menggelar dagangannya seenaknya.
Kondisi ini juga terjadi di sepanjang Jl Kanggraksan hingga Pasar Harjamukti. Akibatnya saat pagi hari terutama hari Minggu dan libur arus lalu lintas di dua jalan tersebut menjadi macet karena banyaknya pengunjung.
pasar kalitanjung sekarang berbeda dengan pasar kali tanjung yang dulu, sekarang disebut pasar Harjamukti

sumber http://www.beritacerbon.com
Readmore »

Pasar Kue Plered Cirebon

Bila hendak menuju Kota Cirebon dari Bandung atau Jakarta, melalui pertigaan Palimanan, Anda akan menyaksikan Jln. Raya Plered yang tetap ramai. Kegiatan bongkar muat segala bentuk jajanan, di kiri dan kanan ruas jalan sepanjang lima ratus meter, berlangsung sepanjang hari.
Mobil boks atau truk terbuka memenuhi bahu jalan. Puluhan buruh bongkar muat, sepanjang pagi hingga petang, lalu lalang membawa tumpukan berbagai jenis jajanan.
Kesibukan Pasar Kue Plered yang sering membuat lambat laju arus lalu lintas di Jln. Raya Plered-Palimanan-Bandung, menunjukkan pasar itu tak terpengaruh terpaan krisis global. Sirkulasi uang di pasar itu, seperti dituturkan H. Hendra Sastra (59), Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Kecil dan Kerajinan (APIKK), setiap harinya mencapai puluhan miliar rupiah.
"Sejak tahun 1995, Pasar Kue Plered makin ramai. Krisis moneter sebelum reformasi maupun krisis global sekarang tak sedikit pun berpengaruh. Pasar ini tahan, mungkin, karena hanya mengandalkan pasar lokal, bukan ekspor," ungkapnya.
Pasar Kue Plered memang menjadi magnet yang memiliki daya sedot tinggi. Tak hanya bagi wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), bahkan telah melebar sampai ke seluruh Pulau Jawa. Untuk jenis kue atau jajanan ringan, pasar yang digerakkan oleh lebih dari seribu pedagang kecil dan menengah itu merupakan yang terbesar.
Berbagai jenis kue kering, kue basah, permen, kerupuk, makanan anak-anak , serta ribuan jenis jajanan ringan lain bertumpuk di pasar tersebut. Boleh jadi, pasar ini merupakan titik sentral dalam lalu lintas berbagai jenis makanan ringan sebelum dipasarkan ke daerah lain. 
MESKI terlihat berkembang pesat, Pasar Kue Plered tetap dihadapkan pada sejumlah persoalan. Salah satunya adalah gempuran dari industri makanan skala nasional. Hal itulah yang kemudian membuat ribuan industri makanan rumahan goyah. Hal itu bisa terlihat dari kenyataan yang berlaku di sejumlah desa sentra makanan, seperti Setu Wetan, Setu Kulon, Megu, Weru Lor, Weru Kidul, dan sekitarnya.
Fenomena tersebut mulai terasa sejak memasuki tahun 2000, di mana pabrik-pabrik makanan besar juga meniru apa yang dilakukan para pelaku bisnis rumahan di sana.
Pabrik-pabrik makanan berskala besar, kini, sama-sama mengeluarkan produk dalam kemasan kecil (sachet). Akhirnya, terjadilah perebutan pangsa pasar, kemasan sachet yang dulu dirintis industri rumahan setempat harus bersaing dengan produk pabrik.
Contohnya mi instan yang dikemas dalam bungkusan kecil, kini, pabrik besar juga mengeluarkan produk dan kemasan sama. Demikian juga halnya dengan kue kering, biskuit bermerk dijual dalam kemasan berisi tiga butir kue. Semua itu, dulu, merupakan trade-mark industri makanan rumahan di Plered.
"Sekarang, pabrik-pabrik makanan modern meniru. Terjadilah persaingan yang tak seimbang. Tentu saja, yang terjadi kemudian adalah pelaku industri makanan Plered yang terdesak," tutur Hendra.
Secara umum, Pasar Kue Plered terus berkembang. Hanya, bedanya, jenis makanan produk pabrik besar lebih dominan dibandingkan dengan jajanan khas yang diproduksi masyarakat Plered secara tradisional dan turun-temurun.
Pasar Kue Plered semula diadakan sebagai tempat memasarkan berbagai produk olahan makanan ringan oleh warga setempat. Dalam perkembangannya, karena pasar itu bertambah besar, produk makanan ringan dari berbagai pabrik besar berdatangan. Oleh karena itu, fungsi awal pasar sebagai tempat memasarkan produk olahan industri makanan rumahan warga setempat berubah menjadi pusat pertemuan produk makanan dari berbagai daerah. Kondisi terakhir ini sangat menguntungkan para pedagang dan grosir. Sebaliknya, itu justru menjadi bak lonceng kematian bagi industri rumahan.

Masalah Pasar Kue Plered ini sebenarnya bukanlah persoalan baru. Sebab, sebelum tahun 80-an pusat distribusi kue besar di Indonesia ini hanya tempat penjualan kue-kue lokal saja. Namun setelah era itu, pasar tersebut berubah menjadi pusat penganan yang ramai dikunjungi pelanggan dari berbagai daerah. Bahkan sejumlah makanan ringan dari Jakarta, misalnya, juga dikirim lewat Pasar Plered dan disebar hingga ke luar Pulau Jawa. Para pedagang kue di sentra makanan ringan itu omzetnya rata-rata Rp 5 juta untuk kios kecil dan Rp 50 juta untuk pedagang besar.


Readmore »

Pasar kanoman Riwayatmu

Masuk ke Pasar Kanoman, terasa suasana keratonnya masih kental. Terlihat dari beberapa ornamen lampu jalan misalnya. Nah, begitu masuk lorong-lorong pasar, baru deh terasa bau khas pasar tradisional. Kalau dihitung-hitung, mungkin sudah ada 8 tahun saya tidak pernah menginjakan kaki ke pasar tradisional.Sebetulnya rata-rata apa yang dijajakan di pasar tradisional juga ada di jual di supermarket-supermarket ternama. Jadi kalau untuk saya, agaknya tidak ada alasan yang kuat mengapa harus berbelanja di pasar tradisional. Mending di supermarket, tidak bau, tidak pengap dan sejuk. Tapi biar bagaimana, pasar tradisional ya tetap saja memiliki pelanggan juga. Saya sendiri sih yakin, sebagian besar anak muda sekarang pasti malas masuk pasar tradisional
Di Cirebon sendiri, ada beberapa pusat perbelanjaan kategori menengah atas, yaitu Grage Mall, Alfa, dan Yogya Toserba. Sebentar lagi akan dibangun Cirebon Super Blok. Katanya ini akan menjadi perbelanjaan terbesar di Cirebon. Letaknya hampir berdampingan dengan Alfa. Tidak didapat informasi, apakah akan ada hyperstore macam Carrefour atau tidak di Cirebon Super Blok tersebut? Tapi kalau ada, ya siap-siap saja mal-mal lainnya kebakaran jenggot menghadapi serangan hypermarket tersebut. Kalau mal-mal yang sudah ada saja bisa ketar-ketir, apalagi dengan pasar dan toko tradisional? Saya sempat berkeliling dan melihat ada beberapa pertokokan di Cirebon yang tutup

TEMPO Interaktif, Cirebon: Pasar Kanoman yang terletak di Kota Cirebon akan direvitalisasi menjadi pasar wisata budaya. Anggaran senilai Rp 1,3 miliar pun sudah disiapkan.Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar, Agus Gustiar, saat kunjungan Wakil Gubernur Jabar di Kota Cirebon.
 
Pasar  Kanoman di pusat Kota Cirebon, kini  menjadi  salah satu  sentra  perdagangan bagi masyarakat  setempat.  Sebagaimana pasar,  maka  seluruh  barang  kebutuhan  masyarakat   keseharian dijajakan,  dari  mulai buah-buahan, sayuran sampai  pada  barang kebutuhan rumah tangga lainnya.
Bahkan  untuk  ukuran Cirebon dan daerah di Wilayah  III  Cirebon lain  meliputi  Kab Indramayu, Majalengka  dan  Kuningan,  selain masyarakat  Cirebon  sendiri  (kota  dan  kabupaten:Red.),  Pasar Kanoman  dikenal  memiliki  ciri  tersendiri.  Yakni  pasar  yang menyediakan  segala  macam buah lokal, serta pasar  khusus  untuk segala macam kain atau konveksi.
Bersama  perjalanan waktu, seiring dengan mewabahnya  gaya  hidup hedonis dan konsumtif masyarakat Cirebon, ketika orang  berbicara "Kanoman", maka asosiasi yang pertama muncul di benak  masyarakat ialah  pasar.  Sebuah  fasilitas umum  yang  menyediakan  beragam barang  kebutuhan, bagi rata-rata wanita di Wilayah III  Cirebon,
asosiasinya bahkan lebih spesisik lagi, yaitu pusat  perbelanjaan kain dan segala macam barang konveksi.
Kanoman  di  benak  masyarakat  tidak  lagi  diidentikan   dengan kerajaan  atau  kesultanan.  Bahkan  sebagian  besar   masyarakat mengaku tidak tahu kalau kata "Kanoman" atau "Pasar Kanoman"  itu mengambil  dari nama sebuah kerajaan (kesultanan), tidak  sedikit masyarakat  yang mungkin belasan kali belanja di  Pasar  Kanoman, tapi  tidak  tahu kalau di belakangnya itu  ada  sebuah  bangunan besar berusia ratusan tahun yang bernama Keraton Kanoman.
Hal  di  atas  menunjukan bahwa  Keraton  Kanoman,  atau  Kanoman sebagai sebuah entitas kekuasaan tradisional (kesultanan),  sudah sedemikian kalah pamor dibanding dengan pasar yang justru usianya jauh  lebih  muda.  Keraton Kanoman yang  dirintis  abad  13  dan dibangun  Pangeran  Kartawidjaya atau Sultan Kanoman I  pada  thn 1677, sepertinya telah kehilangan aura kekuasaannya.
Padahal,   Keraton  Kanoman  pada  masa  lalu   memiliki   cerita kepahlawanan  tersendiri.  Bahkan  diantara  keraton-keraton   di Jabar,  khususnya  Cirebon,  Kanoman  satu-satunya  keraton  yang secara  politik  dan militer ernah sangat ditakuti  dan  disegani pemerintah kolonial Belanda.
Pada  masa lalu, Kesultanan Kanoman menjadi pusat dari  peradaban Islam  di  Cirebon. Dari keraton yang memiliki luas sekira  5  ha itu,  keturunan  Sunan  Gunung Djati  atau  yang  disebut  dengan Kanjeng Sinuhun Djati, terus melakukan penyebaran Agama Islam.
Dari keraton itu pula, lahir beberapa ahli agama yang berdiam  di Pengguron  Keprabonan  (bagian dari Keraton  Kanoman),  antaranya yang  mashur ialah Syekh Sholeh Benda Kerep. Ahli-ahli agama  itu juga  merintis berdirinya pesantren-pesantren besar  yang  sampai sekarang  sangat disegani, antaranya Buntet,  Gedongan,  Babakan,
Ciwaringin sampai Kempek.
Dari  pondok-pondok  pesantren  itu,  berbagai  ilmu  agama  atau pengetahuan umum lain disebarkan. Sampai kemudian lahirlah putra-putra  bangsa  pilihan  yang berani secara  politik  dan  militer menentang dominasi kolonialisme Belanda. 
Pada  masa  silam, Keraton Kanoman menjadi  semacam  "duri  dalam daging"  bagi  penjajah  Belanda.  Gerakan  perlawanan   terhadap
Belanda, banyak disponsori dan disokong oleh pejuang-pejuang dari Keraton  Kanoman,  termasuk  para  sultan  dan  punggawa-punggawa keraton tersebut. Perlawanan  dari  Keraton Kanoman membuat Belanda  kerepotan  dan kewalahan.       Apalagi,  gerakan perlawanan  itu  memperoleh  banyak simpati  dari  masyarakat  Cirebon,  dan  yang  paling  ditakuti, perlawanan Keraton Kanoman itu akan mempengaruhi  keraton-keraton lain di Cirebon seperti Keraton Kasepuhan.
Karena   itulah,  Belanda  terpaksa  harus  melumpuhkan   Keraton Kanoman,  secara  politik maupun militer.  Dengan  berbagai  cara dilakukan  Belanda  melumpuhkan pengaruh  Keraton  Kanoman,  dari mulai  politik pecah belah (devide et impera) sampai cara  paling kasar,  ialah  pemaksaan  dibangunnya pasar  dan  gedung  bioskop persis di depan alun-alun Keraton Kanoman.
Dengan dibangunnya pasar, Belanda ingin memutus jaringan  Keraton Kanoman  dengan kelompok-kelompok perlawanan. Melalui  pasar  itu pula,  Belanda  lebih  leluasa  melakukan  infiltrasi   mata-mata (telik  sandi)  untuk  memantau  serta  menyerap  informasi setiap gerakan Keraton Kanoman.
Mengenai  bioskop  yang sekira thn 1975,  dibongkar  jadi  gedung pasar kain berlantai II (namanya Bioskop "Garuda"), Belanda ingin meruntuhkan moral masyarakat di sekitar keraton (magersari)  yang dicurigai  sebagai pejuang perlawanan Belanda. Penjajahan  budaya ala Belanda dilakukan secara intensif, yakni dengan memutar film-film bernuansa barat.
Pendeknya,  Keraton Kanoman telah dijepit secara politik,  sosial maupun  kebudayaan. Usaha Belanda itu ternyata  berhasil,  dengan adanya  pasar  yang  mendatangkan kotoran  dan  kekumuhan,  serta gedung bioskop yang meruntuhkan moral masyarakat Magersari maupun Cirebon umumnya, Keraton Kanoman akhirnya terkucil.
Pergerakan perlawanan terhadap Belanda pun reda bersamaan  dengan makin  berkembangnya pasar dan gedung bioskop.  Masyarakat  tidak lagi  mempedulikan  soal penjajahan, mereka  lebih  suka  melihat film-film  Eropa, di sisi lain, jaringan Keraton  Kanoman  dengan pejuang-pejuang anti Belanda menjadi putus.
Sejak  Belanda melakukan pembunuhan kultural dan politik  itulah, kegagahan Keraton Kanoman hilang. Pamornya pun kemudian  memudar, Kesultanan Kanoman yang semula disegani menjadi penyokong gerakan perlawanan  terhadap Belanda, menjadi lebih sibuk dengan  urusan-urusan  internal,  sejak itu pula, benih-benih  konflik  diantara para kerabat dan keluarga Sultan Kanoman mulai tumbuh subur.
Readmore »