<data:blog.pageTitle/> <data:blog.pageName/>
Showing posts with label Tiong Hoa. Show all posts
Showing posts with label Tiong Hoa. Show all posts

Sunday, April 4, 2010

Ceng Beng

Ceng beng sesungguhnya, disadari atau tidak, dilakukan dengan tulus atau sekadar kamuflase, adalah sebuah praktik jenius temuan para leluhur di masa lalu yang dapat menggenapi apa yang dinasihatkan Khonghucu di atas. Ceng Beng menjadi sebuah bengkel perbaikan moral yang memiliki nilai sakral, spriritual dan fenomenal.
Lihat saja, betapa berjubelnya lautan manusia di tanah-tanah pemakaman pada saat Ceng beng berlangsung, yang belum tentu ditemukan pada perayaan imlek, dalam hal kelengkapan anggota keluarga yang berkumpul di rumah orang tua atau saudara tertua. 

Aktivitas Ceng beng pun tanpa disadari telah menjadi sebuah kesempatan untuk merekonstruksi moral yang sudah mengalami pergeseran makna dan praktik dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua kaki yang berlutut, kedua tangan yang terkatup di depan dada dan kuncaran doa yang mengalir melalui pikiran yang tulus seolah menjadi bahan baku proses reposisi materi mental yang sudah mengalami pergeseran itu. Yang tadinya sudah mulai bengkok menjadi lurus. Yang sebelumnya kurang beretika menjadi lebih sopan dan santun. Yang semula arogan menjadi lebih rendah hati dan bersahaja. Dan seterusnya.
Semuanya seolah diperbaiki dalam bengkel moral yang ada di dalam diri. Ceng beng menjadi sebuah bengkel yang ampuh dan tangguh untuk memperbaiki moralitas bangsa dalam jangka panjang.



Readmore »

Friday, August 28, 2009

Kaitan Palembang Cirebon

Dari negeri China, Sunan Gunung jati kembali ke Cirebon bersama calon pengantennya, Puteri Ong Thien, lengkap dengan iring-iringan dua buah kapal Kekaisaran Ming.
Pengiring Sunan Gunung Jati dikepalai oleh Menteri Pai Lian Bang. Kapal yang dinaiki rombongan Sunan Gunung Jati berangkat lebih duluan. Lalu singgah di Sriwijaya, pada waktu yang bertepatan dengan wafatnya Adipati Aria Damar. Karena kedua putra Aria Damar sudah pergi ke Tanah Jawa maka tidak ada pengganti. Sunan Gunung Jati menyarankan kepada rakyat Sriwijaya agar muridnya yang bernama Pai Lian Bang yang masih berlayar di belakang diangkat sebagai pengganti Aria Damar.
Setibanya kapal Pai Lian Bang, penduduk Sriwijaya menyambutnya dengan gembira. Pai Lian Bang bersedia menjadi Adipati karena yang telah mengambil keputusan adalah gurunya yang sangat ditaati. Pai Lian Bang yang berpengalaman sebagai Menteri di Negeri Cina berhasil membangun Sriwijaya dengan segala kemampuannya.
Dia adalah guru besar ilmu ketatanegaraan. Banyak murid yang berjubel-jubel datang dari Tanah Jawa khusus untuk mengaji ke Pai Lian Bang yang terkenal brilian dan leket ibadah. Pesantren dan madrasah digalakkan. Setelah tilar dunya kadipaten Sriwijaya diubah namanya menjadi Palembang. Diambil dari nama Pai Lian Bang.
Sumber http://www.asiafunclub.com
Readmore »

Monday, August 24, 2009

Perilaku Ekonimi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an

Pendahuluan
Kehidupan etnis Cina di Indonesia memang sangat menarik untuk dikaji. Pertama, karena sensitif menyangkut pembicaraan SARA, kedua, latar belakang historis dan cara pandang mereka serta pengalaman hidup di bumi nusantara ini, tidak bisa begitu saja digeneralisasi.
Makalah ini mencoba membahas secara obyektif, perilaku budaya dan ekonomi etnis Cina di Indonesia, dimana perilaku tersebut merupakan perilaku yang saling terkait satu sama lain. Isu ini memang sering menjadi diskusi dibanyak kalangan masyarakat Indonesia.
Etnis Cina dengan perilaku ekonominya disadari atau tidak, dalam kenyataan telah menyumbangkan beragam kegiatan perekonomian bangsa Indonesia baik yang bersifat positif maupun negatif. Sedangkan budaya “pecinan”-nya memperkaya keunikan khasanah budaya Indonesia.

Seperti yang dicatat oleh Fujitsu Research di Tokyo (Naisbitt, 1997:19-20) yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di 6 (enam) negara kunci di Asia, didalamnya di gambarkan betapa perusahaan-perusahaan tersebut secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan, misalnya, Thailand sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81% di Indonesia sebanyak 73% dan lain-lain.

Gambaran di atas membuktikan betapa berpengaruhnya peran ekonomi etnis Cina dalam perekonomian di Indonesia. Telah menjadi suatu ketentuan atau syarat utama kesuksesan suatu pembangunan ekonomi, bahwa partisipasi ekonomi segala pihak yang harus lepas dari kasus primordialisme termasuk SARA di dalamnya. Ini menjadi permasalahan dalam tulisan ini. Sebab adanya stereotipe-stereotipe negatif tentang peran ekonomi etnis Cina dalam masyarakat akan mengganggu pertumbuhan ekonomi, khususnya stereotipe negatif yang berhubungan dengan peran ekonomi mereka.

Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis Cina banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia.
o Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
o Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
o Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
o Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
o Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
o Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina. (Kompas Minggu, 6 Februari 2000: 9).

Perjalanan etnis Cina dalam sejarah bangsa Indonesia, memang perlu dipertanyakan seberapa besar hak dan dimana letak keadilan berbangsa yang diterima oleh etnis Cina di Indonesia. Oleh sebab itu tulisan ini akan membahas latar belakang sejarah dari jaman penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan masa Reformasi.
Secara khusus, tulisan ini membahas tentang bagaimana latar belakang sejarah etnis Cina di Indonesia, sejak tahun 1930-an sampai awal tahun 2000, serta bagaimana sikap mereka dalam bidang ekonomi, yang menyangkut perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia.

Pembahasan
Perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1991:125), bahwa persepsi individu ataupun sekelompok orang merupakan suatu proses dimana individu atau suatu kelompok mengorganisir dan menerjemahkan kesan sensorik mereka untuk memberikan tanda bagi lingkungan mereka. Terlepas dari pengukuran seseorang berjiwa nasionalis ataupun bukan, hal ini terkait dengan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia yaitu menyangkut keselamatan dan keamanan etnis Cina di Indonesia. Selain itu persepsi tentang etnis Cina di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis Cina di Indonesia.
Pembentukan persepsi tentang etnis Cina di Indonesia terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lampau, yang merupakan dasar untuk melangkah maju meraih harapan-harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang. Oleh sebab itu, perlu diketahui latar belakang sejarah etnis Cina, sebagai pengetahuan untuk memahami perilaku ekonomi dan budaya etnis Cina. Lintasan sejarah, dalam makalah ini akan dibatasi dalam beberapa bagian, yaitu periode tahun 1930-an, periode tahun 1941sampai tahun 1958, periode tahun 1959 sampai tahun 1966, periode tahun 1966 sampai tahun 1986, periode tahun 1986 sampai Agustus 1999, dan periode Agustus 1999 sampai Maret 2000.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1930-an
Pada era ini, dalam bidang agraria, etnis Cina masih dibatasi kepemilikannya, kecuali di Pulau Bangka, di Kalimantan Barat, dan beberapa lokasi di Pulau Sumatera serta Pulau Jawa. Akibat kondisi jaman Malaise, ada pergeseran peran ekonomi tertentu terutama dari kuli perkebunan di Sumatera Timur menjadi tengkulak, pedagang ikan, atau pemilik penggilingan beras. Demikian juga munculnya dominasi dalam per-dagangan eceran oleh etnis Cina, pada tingkat yang lebih rendah daripada Belanda. Profesi ini diikuti pula oleh peran sebagai tengkulak dan penjaja keliling kecil-kecilan. Bisnis di bidang keuangan hanya bersifat tengkulak pegadaian tingkat bawah dan tidak berbentuk perbankan. Industri pabrik kretek, batik dan tekstil kecil juga dimiliki oleh etnis Cina ini, sedangkan pribumi sebagian besar masih berkutat di bidang agraria dan dinas-dinas pemerintah Hindia Belanda.
Etnis Cina yang telah berpendidikan mulai menekuni bidang-bidang yang terspesialisasi, misalnya dokter, akuntan dan pengajar. Yang bekerja sebagai kuli, atau buruh kasar baik yang terampil ataupun tidak, mulai menyusut jumlahnya. Selain itu, banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan Cina (Mackie, 1991:322-323). Jadi, pada periode tahun 1930-an, sebagian besar etnis Cina bekas kuli berganti peran menjadi pedagang dan usahawan dalam perdagangan kecil-kecilan atau industri berskala kecil yang menyisihkan para pedagang dan usahawan kecil pribumi, tetapi tidak usahawan-usahawan Belanda.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1941 sampai Tahun 1958
Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki ushaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).
Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.

Terjadi pergeseran peran dari tenaga “kasar” (misalnya sebagai kuli perkebunan) menjadi tenaga kerja “halus” yang pekerjaannya memiliki status atau “gengsi” yang lebih tinggi dan lebih membutuhkan keterampilan, misalnya penata rambut, pengrajin emas, wartawan, dokter, pengacara dan lain-lain. Sehingga, pada jaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan Demokrasi Terpimpin, peran ekonomi etnis Cina meluas, lebih-lebih dengan adanya kebijakan Benteng yang membuat usaha pribumi tidak berjalan efektif dan memacu hubungan “Ali-Baba”, serta terjadi persaingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi lainnya.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1959 sampai Tahun 1966
Perilaku ekonomi etnis Cina semakin menonjol pada periode ini, lebih-lebih tahun 1957 sampai tahun 1958. Keberhasilan usaha mereka mengambil alih perusahaan-perusahaan besar Belanda yang dinasionalisasi, walaupun kondisi politik dan ekonomi Indonesia tidak menguntungkan mereka, lebih-lebih setelah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Pada masa itu, etnis Cina kelas menengah melakukan human capital besar-besaran dibidang pendidikan terutama yang bersifat teknis dan manajerial, sehingga pada saat terjadi inflasi tinggi dan perasaan anti etnis Cina menyebar luas hingga tahun 1966, etnis Cina dapat beradaptasi dengan fleksibel. Hal tersebut dilakukan melalui penyediaan modal dan valuta asing yang didapat dari modal sendiri atau keluarga dan atau jaringan dengan pihak luar. Kunci utama keberhasilan pelaku ekonomi baru etnis Cina, adalah merintis kedekatan dengan pejabat pemerintah pada awal Orde Baru sebagai pembinaan hubungan secara ekonomi dan politis. Walaupun demikian, orang Cina tidak banyak yang terjun secara terbuka dalam politik praktis saat itu, mereka melakukannya lewat dukungan material dan non material.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1966 sampai Tahun 1986
Pada tahun 1965 sampai tahun 1968 merupakan tahun-tahun dimana tindakan kekerasan terhadap etnis Cina meningkat akibat peristiwa G 30 S/PKI, yang oleh rezim Soeharto diatasi secara gradual.
Situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian dirangsang oleh pemerintah Orde Baru, yang tentunya membutuhkan lebih banyak usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara. Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya. Namun demikian, mereka masih dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama, dan terdiskri-minasi untuk memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, administrasi sipil pemerintah dan perguruan tinggi negara.
Dampak dari perlakuan diskriminatif ini adalah terjadinya pembagian kerja yang bersifat pri dan non pri (bumi). Perubahan peran ekonomi cenderung menghambat kerjasama ekonomi yang lebih kuat sejak pasca perang kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Mackie (1991: 327-328), para etnis Cina akhirnya lambat laun mengganti identitasnya menjadi identitas Indonesia, terutama disebabkan atas alasan peran ekonomi mereka.
Munculnya perusahaan-perusahaan yang dikuasai etnis Cina berdampak negatif, dengan tidak dilibatkannya pengusaha pribumi untuk bekerjasama dalam korporatisasi perusahaan-perusahaan. Efek negatif yang muncul adalah semakin tajamnya persaingan usaha pri dan non pri (bumi).

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1986 sampai Agustus 1999
Masa ini merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi point istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas.

Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dan dibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang “menyakitkan” dengan adanya krisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunya tercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko serta pusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnya mantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.
Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yang memiliki usaha. Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari ke luar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnis Cina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminan keamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Agustus 1999 sampai Maret 2000
Kondisi ekonomi yang kondusif pun digalakkan dalam pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan dicabutnya beberapa Kepres ataupun Inpres yang mendiskri-minasikan etnis Cina serta himbauan yang ditujukan kepada pelaku ekonomi etnis Cina untuk menjalankan usahanya kembali ke atau di tanah air.
Akan tetapi, kinerja pemerintah Gus Dur belum meyakinkan banyak pihak termasuk pelaku ekonomi etnis Cina, karena gaya kepemimpinan dan gaya politik Gus Dur sering berubah arah, sehingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang asing terutama dollar Amerika Serikat di bursa saham Jakarta. Tentu saja, hal ini menggoyahkan kestabilan usaha ekonomi terutama kalangan pihak asing dan pelaku ekonomi etnis Cina. Pelaku ekonomi etnis Cina masih menunggu langkah-langkah konkret pemerintah Gus Dur untuk memperbaiki situasi per-ekonomian dan usaha nasional, walaupun demikian pelaku ekonomi etnis Cina masih merasa “aman” berbisnis dan bertempat tinggal sementara waktu di Indonesia. Oleh sebab itu usaha-usaha etnis Cina yang saat itu dilakukan cenderung yang bukan beresiko atau berspekulatif tinggi tetapi dapat menguntungkan mereka, terutama di usaha-usaha bagian hilir.
Perilaku ekonomi etnis Cina sepanjang periode tahun 1930-an sampai Maret 2000 masih dibumbui oleh berbagai stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis Cina dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis Cina ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis Cina yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis Cina tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana.
Mengutip pernyataan Bustanil Arifin, dalam Pasific Business Forum (Naisbitt, 1997:19-20), bahwa perusaha-an kecil dan menengah memperkerjakan separuh tenaga kerja di banyak negara-negara Asia dan etnis Cina memiliki 90% dari perusahaan-perusahaan tersebut. Khususnya di Indonesia, populasi etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia.

Etnis Cina di Indonesia menjadi salah satu masyarakat keturunan Cina perantauan yang hidup dan tinggal di luar negara asalnya. Jaringan kerja etnis Cina perantauan sejak kegiatan ekonomi tahun 1990-an hingga kini mendominasi kegiatan ekonomi wilayah Asia, termasuk Indonesia. Menguatnya jaringan-jaringan kerja lintas negara ini mendominasi pula cara atau perilaku etnis Cina di Indonesia dalam menyikapi galobalisasi. Etnis Cina di Indonesia sebagian besar lebih siap menyongsong globalisasi. Seperti yang beritakan dalam majalah berbahasa Cina Forbes Zibenjia pada tahun 1994, yang menganalisa ratusan perusahaan besar dan 10 (sepuluh) pasar saham Asia yaitu Taipei, Seoul, Shanghai, Hongkong, Shenzhen, Bangkok, Kuala Lumpur, Jakarta, Singapura dan Manila:
“Their combined assets came to $ 1.14 trilion, or 89 percent of total market capitalizition of the top thousand companies, 517 had an etnic Chinese as the single largest stockholder. Thus, ethnic Chinese controlled $ 541 billion, some 42 percent of the total in these ten markets ¡V quite a bit more than the $200 billion to $300 billion cited in other estimates”. (Naisbitt, 1997:19)
Keistimewaan perilaku ekonom etnis Cina yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian sikap kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu bisnis keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk. Demikian pula di Indonesia, usaha kecil sampai perusahaan besar etnis Cina di Indonesia banyak yang dikelola sebagai usaha keluarga, contohnya Salim Group, Khong Guan, PT “Cap Orang Tua” perusahaan jamu “Jago”, perusahaan jamu “Air Mancur”, dan lain-lain.
Sebagai gambaran tokoh konglomerat etnis Cina, salah satunya adalah Liem Sioe Liong yang oleh Naisbitt disebutkan memiliki kekayaan bersih $4,5 juta (1997:24). Liem Sioe Liong alias Soedono Salim pemilik Salim Group, merupakan salah satu sosok etnis Cina perantauan yang sukses mengadu untung di luar negara asalnya. Soedono Salim yang meninggalkan Cina Selatan di tahun 1930-an menuju Indonesia, melalui jaringan usaha perdagangan ia bisa berhubungan erat dengan Soeharto, Presiden II RI, yang dimasa lalu Liem Sioe Liong menyediakan dukungan untuk melawan penjajah Belanda. Mereka saling bersahabat sampai Soeharto menggantikan Presiden Soekarno tahun 1965. Keuntungan yang didapat Liem Sioe Liong dari hubungan ini adalah diperolehnya berbagai fasilitas ijin ataupun proyek untuk perusahaan Salim Group, hingga penjualannya meningkat drastis sampai $ 9 juta tahun 1994, yang dihitung sebagai 5% pendapatan kotor domestik Indonesia.
Perilaku hubungan jaringan kerja antara etnis Cina terbentuk karena pengalaman yang mereka lalui. Sesama migran etnis Cina dimanapun berada saling menjaga dan membantu pendatang-pendatang baru di bumi nusantara yang mereka tempati sebagai negara harapan. Manfaat dari adanya hubungan jaringan kerja yaitu:
o memaksimalkan “contact points” untuk (informasi) pekerjaan
o menyebarluaskan berita termasuk tukar menukar berita, dan
o memperkuat dukungan psikologis antar anggota.

Menurut Wertheim yang dikutip oleh Mackie (1991: 293), pembagian kelas etnis Cina dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial, akibat tanggapan bahwa etnis Cina dianggap kelompok minoritas. Kompetisi antar perlaku ekonomi Cina (terutama sebagai pengusaha atau wiraswastawan) dengan masyarakat pribumi sering menjadi penyebab konflik tertutup maupun terbuka terhadap etnis Cina.
Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antaretnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.

Kuatnya hubungan jaringan kerja etnis Cina di Indonesia, ini semakin meningkatkan kekuatan usaha etnis Cina. Situasi dan kondisi ini mendorong usahawan etnis Cina mendirikan usahanya sampai ke wilayah pelosok-pelosok pedesaan. Tetapi kondisi ini tidak memancing konflik usaha dengan pengusaha pribumi, justru dominasi pengusaha etnis Cina pada sektor-sektor kehidupan ekonomi yang lebih penting di kota besar yang menjadi salah satu penyebab saingan keras dengan pengusaha pribumi kelas menengah.
Dalam tiga dasa warsa terakhir, masyarakat etnis Cina perantauan dan atau etnis Cina di Indonesia justru cenderung menanam modal jangka panjang di dalam negeri (Naisbitt, 1997:28). Sikap ini mematahkan generalisasi stereotipe bahwa etnis Cina cenderung menanamkan investasi di negara asal, daripada negara yang ditempatinya. Namun sikap ini juga tergantung pada sikap pemerintah dan kebijakan politik serta sikap rakyat pada umumnya. Dalam kenyataan sosial dan politik, beberapa orang dalam masyarakat pribumi menganggap etnis Cina lokal tetap sebagai orang “luar” yang diragukan nasionalismenya dan tidak dapat berasimilasi. Hal ini menjadi bumerang bagi semua pihak dimana dapat dipastikan pada etnis Cina akan merasa terancam dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan dengan solidaritas komunal mereka sebagai kelompok minoritas yang tertindas.
Tentunya kecenderungan untuk menanam modal jangka panjang di negara yang mereka tempati mendukung integrasi dengan komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dibanyak tempat di nusantara bahwa etnis Cina dapat berbahasa lokal, misalnya etnis Cina di Pontianak, di Solo, di Tegal, di Ujung Pandang dan sebagainya. Walaupun mereka menjalankan integrasi lokal, dalam beberapa kehidupan keseharian etnis Cina, terutama yang belum atau tidak melakukan pernikahan asimilasi dengan pihak pribumi, tetap mempertahankan kemampuan baca dan berbicara bahasa Mandarin dan atau Kanton. Etnis Cina yang tidak atau belum berasimilasi melalui perkawinan dengan kaum pribumi, biasanya hanya mengambil kebiasaan-kebiasaan budaya lokal terutama dalam hal makanan.
Karakteristik lain yang dimiliki etnis Cina di Indonesia adalah kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidup hemat. Mereka mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat kecuali untuk hari besar mereka. Senantiasa menghasilkan uang, sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka. Prof. Wang Gung Wu menegaskan bahwa sikap orang Cina mengarah pada kemakmuran (dalam Wang dan Cushman, 1991:30).
Salah satu kesamaan karakteristik antara etnis Cina di Indonesia dengan masyarakat pribumi berkaitan dengan konflik adalah sama-sama lebih menyukai penyelesaian perbedaan melalui negoisasi, dibandingkan pemecahan konflik secara formal. Hal ini terlihat dari kentalnya jaringan kerja yang telah menjadi kebiasaan etnis Cina, tentunya kondisi ini menjawab mengapa “guan xi” (kontak personal) menjadi penting dalam perilaku ekonomi mereka.

Skinner (Mackie, 1991:306) mengatakan bahwa kekuatan kecenderungan asimilasi terutama bergantung pada keadaan daerah setempat dan faktor sosio budaya, bukan pada kualitas yang ada pada diri etnis Cina. Hal ini ditegaskan oleh Mackie bahwa: “akibat kolonialisme Belanda yang melakukan pembagian kelas warganegara Hindia Belanda, mendudukan etnis Cina di atas bangsa pribumi, mengakibatkan lambannya identifikasi etnis Cina terhadap Indonesia pada pasca awal kolonialisme Belanda” (1991:306).
Walaupun kemudian proses identifikasi penuh etnis Cina sebagai orang Indonesia mengalami hambatan diskriminasi politik, ekonomi dan sosial, namun solusi asimilasi sosio budaya bukan merupakan jawaban kunci dari permasalahan ini. Hambatan-hambatan ini akhirnya menjadi alasan mengapa beberapa pelaku ekonomi dari kalangan etnis Cina mengarahkan investasi bisnisnya ke luar negeri, yang intinya mencari keamanan untuk bisnis dan kelangsungan kehidupannya.
Menurut Mackie (1991:330-332), perilaku ekonomi etnis Cina, menurut Mackie (1991:330-332), terutama yang berjenis perusahaan konglomerat, diidentifikasikan dalam 7 (tujuh) karakteristik, yaitu:
Mayoritas berupa keaneka-ragaman kepentingan, yang tidak lepas dari “core business”-nya, misalnya pangan.
Orang-orang baru sebagai pelopor pembentukan struktur konglo-merasi, karena tidak semua perusahaan keluarga berlatar belakang dari perusahaan keluarga etnis Cina yang telah mapan sebelumnya. Contohnya, Liem Sioe Liong adalah usahawan etnis Cina perantauan yang semula miskin.
Mempunyai hubungan dengan modal asing. Perusahaan-perusahaan etnis Cina yang mapan cenderung dipercaya oleh pihak asing daripada perusahaan pribumi atau perusahaan negara.
Mempunyai kepemilikan bank-bank swasta, dimana kepemilikan- nya dimanfaatkan untuk membantu kepentingan yang lebih luas bagi para konglomerat.
Investasi dilakukan bukan pada sektor pertambangan, perkebunan dan industri berat, karena sektor-sektor tersebut memiliki resiko politis dan resiko kerugian paling besar.
Investasi di luar negeri, terutama Singapura dan Hongkong, memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi dan tidak terlalu besar resiko politis dan ekonominya.
Sebagian besar perusahaan keluarga berfungsi sebagai inti perusahaan konglomerat, walaupun kini tingkatan manajernya bertumpu pada profesionalitas manajer dan pekerja, tetapi tidak meminimalisir “peran” pemilik perusahaan keluarga tersebut. Ciri perilaku bisnis etnis Cina ini terlihat dalam komposisi staf dalam perusahaannya, dimana jabatan pengambil keputusan berada di tangan kolega etnis Cina atau anggota keluarga yang dipercaya.

Ternyata ke 7 (tujuh) karakteristik ini semakin memperkecil kecenderungan asimilasi penuh etnis Cina pada masa mendatang. Adalah hal yang menarik, bahwa adanya hubungan percukongan yang semakin menjamur dan semakin meningkatnya kejayaan perilaku ekonomi di kalangan elit etnis Cina semasa Orde Baru. Hal ini menjadikan perusahaan- perusahaan mereka sebagai perusahaan multinasional selain konglomerasi.

Sementara itu masyarakat kelas menengah pribumi belum begitu kuat dalam sektor ekonomi modern, kecuali konglomeratnya. Kondisi ini diperburuk dengan sikap beberapa birokrat atau pejabat tinggi Indonesia yang cenderung lebih menyukai kerjasama dengan etnis Cina untuk menjalankan usaha mereka, karena etnis Cina dianggap lebih berpengalaman dan kuat modal daripada pribumi. Selain itu, bekerjasama dengan pengusaha pribumi rentan resiko karena mereka umumnya beraliansi pada partai-partai politik tertentu, sementara pengusaha etnis Cina umumnya netral dalam politik. Situasi kondisi ini yang semakin menyuburkan praktik percukongan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Meski demikian sistem kemitraan cukong ini berubah dari waktu ke waktu tergantung pada keberuntungan bisnis Cina yang bersangkutan.
Memang terbukti akhirnya, justru etnis Cina “totok” yang kebanyakan para emigran lebih berhasil dibanding etnis Cina peranakan, penyebabnya etnis Cina “totok” cenderung inovatif dan berani mengambil resiko tinggi sebagai wiraswasta, sedangkan etnis Cina peranakan lebih konservatif dalam usaha, yang cenderung pula lebih berminat menjadi kaum profesional daripada wiraswasta. Walaupun demikian, perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia masih cenderung mengarah pada sistem patron-klien dengan beberapa pejabat pemerintah Indonesia, demi menjaga “keamanan dan kesejahteraan” mereka. Tetapi tak dipungkiri kehadiran mereka membantu dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya.

Kesimpulan
Prinsip-prinsip perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia memang berubah dari masa ke masa, tetapi secara umum prinsip perilaku ekonomi etnis Cina tergantung pada pemahaman mereka terhadap kebijakan dan situasi kondisi politik nasional tentang keberadaan etnis Cina secara nasional.
Perilaku ekonomi ini akhirnya mengarah pada usaha yang sifatnya aman dan netral dalam arti tidak mengandung banyak resiko bagi keselamatan dan kesejahteraan diri. Bentuk konkret ekonomi etnis Cina cenderung bergerak di bidang perdagangan (retail) dan keuangan, usaha-usaha yang sifatnya bukan usaha besar (karena usaha-usaha vital pengelolaannya dikuasai oleh negara).
Perilaku ekonomi yang cenderung proaktif, berbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri etnis Cina di kawasan Asia termasuk Indonesia. Hal ini ditunjang pula oleh persepsi etnis Cina terhadap identifikasi diri etnis Cina terhadap negara yang didiami. Khusus di Indonesia, persepsi ekonomi etnis Cina terbagi antara persepsi ekonomi dan politik etnis Cina “totok” dan peranakan yang awal keduanya hadir sebagai etnis Cina perantauan.
Etnis Cina “totok” terutama yang kondisi status ekonominya berada di bawah, cenderung berperilaku ekonomi dinamis dan berorientasi dagang. Perilaku tersebut termotivasi oleh harapan untuk hidup aman, makmur dan loyal terhadap adat, maupun kepatuhan terhadap keluarga, termasuk hubungan kerjasama etnisitas sesama etnis Cina. Sementara itu orang Cina peranakan cenderung lebih konservatif dalam berbisnis.
Etnis Cina mengandalkan integritas suatu hubungan antar etnis Cina di bidang ekonomi dan kekeluargaan. Bentuk kolaborasi perilaku etnis Cina di Indonesia terutama kelas menengah dan atas (yang secara profesi tidak terikat)

Referensi
o Wang, G. W., dan Jennifer Cushman. (1991). Perubahan indentitas orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
o Mackie, J.A.C. (1991). Peran ekonomi dan identitas etnis Cina Indonesia dan Muangthai dalam Wang Gung Wu dan Jennifer Cushman, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggar. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
o Naisbitt, J. (1997). Megatrends Asia. New York: Touchstone Rockefeller Center.
o Robbins, S. P. (1991). Organizational Behavior. New Jersey:Prentice-Hall.
Readmore »

Jasa Besar Sam Tjay Kong Tetap Dihargai Keraton Cirebon

MAKAM Sam Tjay Kong yang terletak di Jln. Sukalila Utara atau belakang Pasar Pagi Kota Cirebon kini tengah menjadi perhatian serius, khususnya warga keturunan Tionghoa. Berawal dari kebijakan pemkot terkait pelaksanaan projek penataan Pedagang kaki lima (PKL) yang tengah digarap sebuah developer dalam dua bulan terakhir ini.
MAKAM Sam Tjay Kong alias Tumenggung Aria Wira Tjoela di Jln. Sukalila Utara, Kota Cirebon yang meninggal tahun 1739 dan merupakan salah satu cagar budaya. Sam Tjay Kong adalah Cina muslim kerabat Putri Tan Nio Tien, istri Sunan Gunung Djati yang juga menjabat semacam menteri keuangan Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan Sunan Gunung Djati.* AGUNG NUGROHO/"PR"


Pelaksanaan projek tersebut, rupanya memicu protes keras dari warga keturunan Tionghoa yang tergabung dalam sejumlah lembaga. Sebut saja MPTC (Masyarakat Peduli Tionghoa Cirebon), PSMTI (Paguyuban Sosial Masyarakat tionghoa Indonesia) dan MAKIN (Majelis Agama Kong Hu Cu).

Aksi protes terkait dengan pemasangan tenda yang terdapat persis di depan pagar kompleks makam Sam Tjay Kong. Makam tersebut, ternyata merupakan cagar budaya yang sangat dihormati oleh masyarakat Tionghoa, tidak saja di Kota Cirebon, tetapi juga di Jabar dan Indonesia.

Pekuburan berusia lebih dari 300 tahun itu merupakan makam keramat dan memiliki nilai historis tinggi. Apalagi, sosok yang dikuburkan di pusara seluas 50 x 50 meter itu, ternyata salah seorang tokoh yang memegang peranan strategis pada masa awal-awal Kesultanan Cirebon.

Polemik pun terjadi terkait dengan pemasangan tenda yang menurut Jeremy Huang, Ketua MPTC dan PSMTI Cirebon, merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemkot karena terkesan tidak peduli dengan keberadaan makam sebagai bagian dari cagar budaya Kota Cirebon.

Sikap warga Tionghoa itu juga memperoleh dukungan kalangan sejarawan Kota Cirebon. Di antaranya H.R. Sutadji, K.S, sejarawan yang meminta agar tenda yang telah terpasang dibongkar demi menjaga kelestarian kuburan Sam Tjay Kong.

Seiring terjadinya polemik, masyarakat Cirebon pun kemudian bertanya-tanya, siapakah Sam Tjay Kong. Sosok yang makamnya ternyata menuai protes keras warga Tionghoa ketika di depan pagarnya dipasangi tenda permanen untuk para PKL.

Memang tidak banyak literatur sejarah dalam konteks masa-masa awal berdirinya Caruban Nagari, sebagai kerajaan Islam (Kesultanan Cirebon) yang mengungkapkan sosok Sam Tjay Kong. Kendati demikian, Sam Tjay Kong diakui resmi oleh Keraton Pasepuhan Cirebon, sebagai salah satu pembesar keraton yang memiliki jasa besar bagi Kesultanan Cirebon.

Meski jasanya sangat besar, namun namanya redup justru akibat sikapnya di akhir masa-masa hidupnya. Sam Tjay Kong oleh kalangan muslim (termasuk Cina Muslim di Cirebon), disebutnya sebagai 'murtad', dikarenakan di akhir-akhir hidupnya, dia memilih pindah ke agama Kong Hu Cu.

Walau telah berpindah ke Kong Hu Cu, ketika Sam Tjay Kong meninggal dunia yang menurut prasasti kuburnya tercatat hari Senin, tanggal 24 tahun Jawa 1739 atau sekira tahun masehi 1660 (dikurangi 79 tahun-Red.), Keraton Kasepuhan tetap memberi penghargaan. Hanya saja karena saat meninggal dunia berstatus agama Kong Hu Cu, maka makamnya pun dipisahkan dengan kompleks makam Cina muslim yang berada di Gunung Sembung, depan kompleks makam Sunan Gunung Djati.

Menteri Keuangan handal

Sam Tjay Kong semasa hidupnya dikenal sebagai administrator unggul. Dialah yang memegang dan mengatur arus keuangan Keraton Kasepuhan, dia dikenal sebagai bendahara atau "menteri Keuangan' yang andal. Berkat kepiawaiannya, Keraton Kasepuhan bisa berkembang dan sehat dari sisi keuangan sehingga syiar Islam di tanah Jawa (Jabar-Red.) bisa berjalan lancar.

Meski sekilas, nama Sam Tjay Kong sempat tercatat dalam dua risalah sejarah Cina di Indonesia pada masa Kesultanan Cirebon (Caruban Nagari). Pertama adalah buku "Chinese Epigraph Material in Indonesia" (Cagar Budaya Cina di Indonesia) dengan penulis Salmon Claudine, kemudian buku "Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI" yang ditulis H.J. de Graff.

Dalam bukunya, de Graff menemukan sosok Sam Tjay Kong pada catatan tahunan Melayu oleh Tom Pires (pengelana bangsa Portugal). Dalam catatan Melayu, Sam Tjay Kong aslinya bernama Tan Sam Cai dengan nama muslim Muhammad Syafi'i.

Dia menjadi Menteri Keuangan Keraton Kasepuhan Cirebon sepeninggal Sunan Gunung Djati. Disebut-sebut, Sam Tjay Kong alias Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi'i, menjadi bendahara cakap dan terpercaya pada masa transisi ketika Kesultanan Cirebon di bawah Panembahan Ratu, pengganti sementara Sunan Gunung Djati yang telah wafat.

Dalam catatan Melayu Tom Pires, disebutkan Sam Tjay Kong mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia meninggal dunia di salah satu gua di kompleks pertapaan Gua Sunyaragi yang dibangunnya sendiri, dia meninggal dunia bersama seorang "harim" (istri simpanan).

Saat itu, statusnya sudah berpindah agama dari Islam ke Kong Hu Cu. Perpindahan agama Sam Tjay Kong tidak dijelaskan secara gamblang dalam sejarah. Hanya menurut Jeremy Huang, Sam Tjay Kong atau Muhammad Syafi'i mengalami goncangan psikologis sepeninggal Sunan Gunung Djati, sehingga memutuskan pindah ke Kong Hu Cu.

Tetap dihormati

Jasad Sam Tjay Kong ditolak mentah-mentah saat akan dikuburkan di pemakaman Cina muslim di Gunung Sembung. Penolakan itu dilakukan oleh seorang petinggi Keraton Kasepuhan lainnya yang juga keturunan tionghoa, bernama Kung Sun Pak, sebagai juru kunci makam Gunung Sembung (Kung Sun Pak adalah cucu Kung Wung Ying, wakil Laksamana Cheng Ho yang ditugaskan mendarat di Caruban Nagari untuk membantu perkembangan Islam di Kesultanan Cirebon).

Meski demikian, pemakaman jasad Sam Tjay Kong alias Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi'i menggunakan upacara resmi kenegaraan. Apalagi Keraton Kasepuhan Cirebon (Kesultanan Cirebon) memberi gelar kebesaran terhadap Sam Tjay Kong dengan sebutan Tumenggung Aria Wira Tjoela, berkat jasa besarnya sebagai menteri keuangan.

"Gelar Aria itu merupakan gelar yang tinggi. Ini hanya bisa diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa luar biasa bagi Keraton Cirebon. Sam Tjay Kong memperoleh gelar tertinggi yang hanya setingkat di bawah Rakean. Rakean itu gelar turun-temurun keturunan raja atau sultan," tutur sejarawan, Sutadji.

Sosok Sam Tjay Kong juga disinggung secara sekilas dalam buku sejarah "Cagar Budaya Cina di Indonesia" dengan penulis Salmon Claudine. Di buku itu, disebut-sebut bahwa Sam Tjay Kong merupakan arsitek kompleks pertapaan raja atau yang dikenal dengan Gua Sunyaragi.

Mengutip Bong Pay (nisan kubur) Sam Tjay Kong, buku itu mengemukakan, Sam Tjay Kong memiliki nama kecil Chen San Cai, kemudian berubah menjadi Tam Sam Tjay. Setelah menjabat sebagai bendahara keraton memperoleh gelar Tumenggung Aria Wira Tjoela dan memiliki nama muslim Muhammad Syafi'i.

Berasal dari daerah Chen Lan She yang masih merupakan wilayah Ds. Lang Xi, Kab. Zhy Zhou, Fu Jian, Cina Selatan. Mendarat ke Cirebon ikut rombongan Putri Ong Tin Nio, anak raja Hong Gi yang setelah menikah dengan Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayat) di Keraton Prabu Luragung (Jagakarsa, Adipati Kuningan) pada tahun 1481 masehi, bergelar Ratu Sumanding dan menetap di Pesanggrahan Gunung Sembung.

Mengenai keberadaan Sam Tjay Kong sebagai pengawal Putri Ong Tien Nio ini masih kontroversial. Sejarawan Sutadji bahkan meragukan fakta itu, sebab dalam catatan sejarahnya, Putri Ong Tien Nio mendarat di Pelabuhan Muara Jati dikawal oleh dua orang, yakni pengawal Lie Guan Chang dan nakhkoda Lie Gun Hien. "Saya tidak menemukan nama Sam Tjay Kong atau Tan Sam Tjay sebagai pengawal Putri Ong Tien Nio saat mau dikawinkan dengan Syarif Hidayat. Namun, kalau ada catatan sejarah dengan sumber valid menyatakan Sam Tjay Kong sebagai pengawal, itu bisa saja. Mengingat banyak fakta sejarah yang belum terungkap," tutur dia.

Meski dinilai sosok kontroversial, namun nama Sam Tjay Kong tetap dihormati sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Kesultanan Cirebon. Bahkan sebagai bukti penghormatan itu, kompleks makamnya yang terdiri dari 1 makam utama dan 4 makam kerabat, dihiasi bangunan dengan dua gaya arsitektur, yakni Islam dan Cina (Kong Hu Cu). "Sam Tjay Kong sangat dihormati warga tionghoa beragama Kong Hu Cu. Ia juga yang membangun Klenteng di daerah Talang, Kota Cirebon," tutur Jeremy.

Sebagai penghormatan, di tahun 1919 masehi, makam Sam Tjay Kong dipagar keliling oleh Mayor Tan Chi Ji, pemimpin pecinan di Kota Cirebon. Pagar itu dilengkapi prasasti bertuliskan huruf kanji Cina, melayu, dan Jawa.

Makam Sam Tjay Kong juga pernah mashur dan dikenal luas oleh masyarakat di tahun 60 sampai 70-an. Di kompleks makam itu, dulu menjadi salah satu pusat keramaian kota Cirebon tempo dulu dimana banyak pedagang termasuk juga tukang ramal yang memanfaatkan para peziarah ke makam keramat itu, juga bagi sebagian warga digunakan untuk memperoleh wangsit agar dapat petunjuk mendapat rezeki dari kode buntut. "Tahun 70-an, di depan makam bahkan menjadi terminal sado atau dokar. Ratusan peziarah datang dari berbagai daerah, tak hanya warga tionghoa," ujar Jeremy.

Memasuki tahun 80-an, kemashyuran makam itu pudar. Yang semula ramai menjadi sepi hingga tumbuhlah ilalang dan tidak terawat, bahkan sering digunakan untuk maksiat seperti prostitusi, perjudian sampai pesta minuman keras para berandal.

Setelah reformasi, makam itu kembali terawat. Masyarakat tionghoa yang semula acuh tak acuh, mulai ikut peduli, juga dari sebuah parpol yang sempat mengerahkan masa untuk membersihkan kompleks makam.

Makam ini semula sepertinya hilang ditelan zaman. Belakangan dengan dibangunnya tenda di depan pagarnya oleh developer yang mengerjakan projek penataan PKL, nama Sam Tjay Kong, Tan Sam Tjay, Tumenggung Aria Wira Tjoela dan Muhammad Syafi'i pun kembali muncul menjadi polemik.(Agung Nugroho/"PR")***
Readmore »

Sejarah Tionghoa







Jumlah populasi

1.739.000 (sensus 2000)[1]
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatra, Bangka-Belitung dan Sulawesi Selatan.
Bahasa
Hokkien, Hakka, Tiochiu, Mandarin, Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya.
Agama
Sebagian besar Buddha, Kong Hu Cu dan Kristen. Minoritas kecil ada yang beragama Islam.
Kelompok etnis terdekat
Mayoritas suku Han dan minoritas suku Hui di Tiongkok.


Sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi: 唐人, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).Daftar isi [sembunyikan]



Kronologi sejarah


Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.

Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.


Asal kata

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda. Bagian ini membutuhkan pengembangan.



Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia


Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.


Daerah asal di Tiongkok

Peta distribusi daerah asal leluhur suku Tionghoa-Indonesia

Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
Hakka
Hainan
Hokkien
Kantonis
Hokchia
Tiochiu

Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).



Pra kemerdekaan

Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.

Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740 [2][3][2], melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.

Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.

Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.

Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Sejak pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata ada hikmahnya itu menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.

Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.

Sebetulnya pada era kolonial kelompok Tionghoa ini juga pernah berjuang, baik sendiri maupun bersama etnis lain, melawan Belanda di Jawa dan di Kalimantan. Bersama etnis Jawa, kelompok ini berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.

Golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda, dengan dihibahkannya gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong, dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya.

Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia.

Pada masa revolusi tahun 1945-an kita menyaksikan perjuangan Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian meninggal dalam status sebagai warganegara asing, padahal ia ikut merancang UUD 1945. Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.


Pasca kemerdekaan

Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.

Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".

Peran sosial budaya Tionghoa

Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.

Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.
Readmore »