<data:blog.pageTitle/> <data:blog.pageName/>

Wednesday, August 26, 2009

Pasar kanoman Riwayatmu

Masuk ke Pasar Kanoman, terasa suasana keratonnya masih kental. Terlihat dari beberapa ornamen lampu jalan misalnya. Nah, begitu masuk lorong-lorong pasar, baru deh terasa bau khas pasar tradisional. Kalau dihitung-hitung, mungkin sudah ada 8 tahun saya tidak pernah menginjakan kaki ke pasar tradisional.Sebetulnya rata-rata apa yang dijajakan di pasar tradisional juga ada di jual di supermarket-supermarket ternama. Jadi kalau untuk saya, agaknya tidak ada alasan yang kuat mengapa harus berbelanja di pasar tradisional. Mending di supermarket, tidak bau, tidak pengap dan sejuk. Tapi biar bagaimana, pasar tradisional ya tetap saja memiliki pelanggan juga. Saya sendiri sih yakin, sebagian besar anak muda sekarang pasti malas masuk pasar tradisional

Di Cirebon sendiri, ada beberapa pusat perbelanjaan kategori menengah atas, yaitu Grage Mall, Alfa, dan Yogya Toserba. Sebentar lagi akan dibangun Cirebon Super Blok. Katanya ini akan menjadi perbelanjaan terbesar di Cirebon. Letaknya hampir berdampingan dengan Alfa. Tidak didapat informasi, apakah akan ada hyperstore macam Carrefour atau tidak di Cirebon Super Blok tersebut? Tapi kalau ada, ya siap-siap saja mal-mal lainnya kebakaran jenggot menghadapi serangan hypermarket tersebut. Kalau mal-mal yang sudah ada saja bisa ketar-ketir, apalagi dengan pasar dan toko tradisional? Saya sempat berkeliling dan melihat ada beberapa pertokokan di Cirebon yang tutup

TEMPO Interaktif, Cirebon: Pasar Kanoman yang terletak di Kota Cirebon akan direvitalisasi menjadi pasar wisata budaya. Anggaran senilai Rp 1,3 miliar pun sudah disiapkan.Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar, Agus Gustiar, saat kunjungan Wakil Gubernur Jabar di Kota Cirebon.
 
Pasar  Kanoman di pusat Kota Cirebon, kini  menjadi  salah satu  sentra  perdagangan bagi masyarakat  setempat.  Sebagaimana pasar,  maka  seluruh  barang  kebutuhan  masyarakat   keseharian dijajakan,  dari  mulai buah-buahan, sayuran sampai  pada  barang kebutuhan rumah tangga lainnya.
Bahkan  untuk  ukuran Cirebon dan daerah di Wilayah  III  Cirebon lain  meliputi  Kab Indramayu, Majalengka  dan  Kuningan,  selain masyarakat  Cirebon  sendiri  (kota  dan  kabupaten:Red.),  Pasar Kanoman  dikenal  memiliki  ciri  tersendiri.  Yakni  pasar  yang menyediakan  segala  macam buah lokal, serta pasar  khusus  untuk segala macam kain atau konveksi.
Bersama  perjalanan waktu, seiring dengan mewabahnya  gaya  hidup hedonis dan konsumtif masyarakat Cirebon, ketika orang  berbicara "Kanoman", maka asosiasi yang pertama muncul di benak  masyarakat ialah  pasar.  Sebuah  fasilitas umum  yang  menyediakan  beragam barang  kebutuhan, bagi rata-rata wanita di Wilayah III  Cirebon,
asosiasinya bahkan lebih spesisik lagi, yaitu pusat  perbelanjaan kain dan segala macam barang konveksi.
Kanoman  di  benak  masyarakat  tidak  lagi  diidentikan   dengan kerajaan  atau  kesultanan.  Bahkan  sebagian  besar   masyarakat mengaku tidak tahu kalau kata "Kanoman" atau "Pasar Kanoman"  itu mengambil  dari nama sebuah kerajaan (kesultanan), tidak  sedikit masyarakat  yang mungkin belasan kali belanja di  Pasar  Kanoman, tapi  tidak  tahu kalau di belakangnya itu  ada  sebuah  bangunan besar berusia ratusan tahun yang bernama Keraton Kanoman.
Hal  di  atas  menunjukan bahwa  Keraton  Kanoman,  atau  Kanoman sebagai sebuah entitas kekuasaan tradisional (kesultanan),  sudah sedemikian kalah pamor dibanding dengan pasar yang justru usianya jauh  lebih  muda.  Keraton Kanoman yang  dirintis  abad  13  dan dibangun  Pangeran  Kartawidjaya atau Sultan Kanoman I  pada  thn 1677, sepertinya telah kehilangan aura kekuasaannya.
Padahal,   Keraton  Kanoman  pada  masa  lalu   memiliki   cerita kepahlawanan  tersendiri.  Bahkan  diantara  keraton-keraton   di Jabar,  khususnya  Cirebon,  Kanoman  satu-satunya  keraton  yang secara  politik  dan militer ernah sangat ditakuti  dan  disegani pemerintah kolonial Belanda.
Pada  masa lalu, Kesultanan Kanoman menjadi pusat dari  peradaban Islam  di  Cirebon. Dari keraton yang memiliki luas sekira  5  ha itu,  keturunan  Sunan  Gunung Djati  atau  yang  disebut  dengan Kanjeng Sinuhun Djati, terus melakukan penyebaran Agama Islam.
Dari keraton itu pula, lahir beberapa ahli agama yang berdiam  di Pengguron  Keprabonan  (bagian dari Keraton  Kanoman),  antaranya yang  mashur ialah Syekh Sholeh Benda Kerep. Ahli-ahli agama  itu juga  merintis berdirinya pesantren-pesantren besar  yang  sampai sekarang  sangat disegani, antaranya Buntet,  Gedongan,  Babakan,
Ciwaringin sampai Kempek.
Dari  pondok-pondok  pesantren  itu,  berbagai  ilmu  agama  atau pengetahuan umum lain disebarkan. Sampai kemudian lahirlah putra-putra  bangsa  pilihan  yang berani secara  politik  dan  militer menentang dominasi kolonialisme Belanda. 
Pada  masa  silam, Keraton Kanoman menjadi  semacam  "duri  dalam daging"  bagi  penjajah  Belanda.  Gerakan  perlawanan   terhadap
Belanda, banyak disponsori dan disokong oleh pejuang-pejuang dari Keraton  Kanoman,  termasuk  para  sultan  dan  punggawa-punggawa keraton tersebut. Perlawanan  dari  Keraton Kanoman membuat Belanda  kerepotan  dan kewalahan.       Apalagi,  gerakan perlawanan  itu  memperoleh  banyak simpati  dari  masyarakat  Cirebon,  dan  yang  paling  ditakuti, perlawanan Keraton Kanoman itu akan mempengaruhi  keraton-keraton lain di Cirebon seperti Keraton Kasepuhan.
Karena   itulah,  Belanda  terpaksa  harus  melumpuhkan   Keraton Kanoman,  secara  politik maupun militer.  Dengan  berbagai  cara dilakukan  Belanda  melumpuhkan pengaruh  Keraton  Kanoman,  dari mulai  politik pecah belah (devide et impera) sampai cara  paling kasar,  ialah  pemaksaan  dibangunnya pasar  dan  gedung  bioskop persis di depan alun-alun Keraton Kanoman.
Dengan dibangunnya pasar, Belanda ingin memutus jaringan  Keraton Kanoman  dengan kelompok-kelompok perlawanan. Melalui  pasar  itu pula,  Belanda  lebih  leluasa  melakukan  infiltrasi   mata-mata (telik  sandi)  untuk  memantau  serta  menyerap  informasi setiap gerakan Keraton Kanoman.
Mengenai  bioskop  yang sekira thn 1975,  dibongkar  jadi  gedung pasar kain berlantai II (namanya Bioskop "Garuda"), Belanda ingin meruntuhkan moral masyarakat di sekitar keraton (magersari)  yang dicurigai  sebagai pejuang perlawanan Belanda. Penjajahan  budaya ala Belanda dilakukan secara intensif, yakni dengan memutar film-film bernuansa barat.
Pendeknya,  Keraton Kanoman telah dijepit secara politik,  sosial maupun  kebudayaan. Usaha Belanda itu ternyata  berhasil,  dengan adanya  pasar  yang  mendatangkan kotoran  dan  kekumuhan,  serta gedung bioskop yang meruntuhkan moral masyarakat Magersari maupun Cirebon umumnya, Keraton Kanoman akhirnya terkucil.
Pergerakan perlawanan terhadap Belanda pun reda bersamaan  dengan makin  berkembangnya pasar dan gedung bioskop.  Masyarakat  tidak lagi  mempedulikan  soal penjajahan, mereka  lebih  suka  melihat film-film  Eropa, di sisi lain, jaringan Keraton  Kanoman  dengan pejuang-pejuang anti Belanda menjadi putus.
Sejak  Belanda melakukan pembunuhan kultural dan politik  itulah, kegagahan Keraton Kanoman hilang. Pamornya pun kemudian  memudar, Kesultanan Kanoman yang semula disegani menjadi penyokong gerakan perlawanan  terhadap Belanda, menjadi lebih sibuk dengan  urusan-urusan  internal,  sejak itu pula, benih-benih  konflik  diantara para kerabat dan keluarga Sultan Kanoman mulai tumbuh subur.

0 comments: