<data:blog.pageTitle/> <data:blog.pageName/>

Wednesday, August 4, 2010

Genjring Rudat dan Brai

Pada awalnya Seni Rudat hanya berkembang di pesantren-pesantren, namun kemudian seni yang bernafaskan Islam ini berkembang pula di masyarakat umum. Munculnya kesenian berawal dari tumbuhnya semangat perjuangan masyarakat dalam upayanya melawan penjajah yang dipimpin oleh seorang pangeran dari Kesultanan Kanoman Cirebon.
Bersama pimpinan-pimpinan pesantren ia menyusun kekuatan dengan mengajarkan ilmu beladiri pada para santri. Kegiatan tersebut kemudian disamakan dengan membentuk gerakan-gerakan berbentuk tarian. Maka dalam tarian Rudat, kita akan melihat perpaduan gerak silat, dzikir dan gerakan sholat, kemudian diiringi dengan lantunan puji-pujian yang mengagungkan asma Allah dan Rasulnya.
Adapun alat musik yang digunakan dalam pertunjukan Rudat adalah perangkat genjring, trebang dan bedug.
Brai berasal dari kata birahi atau kasmaran yaitu cinta kepada Allah. Karena itu bernafaskan Islam dan berkembang sejak zaman Sunan Gunung Jati dan digunakan sebagai sarana pengembangan ajaran agama Islam. Waditra yang digunakan adalah 2 buah terbang dan gendang.
Busana yang digunakan adalah busana muslim lengkap dengan jilbabnya bagi pemain wanita dan bagi pemain pria baju takwa, kopiah dan sarung.


Terbang atau trebang sebenarnya merupakan bentuk tabuhan semacam genjring. Sedangkan brai berasal kata dari "birahi" yang berarti kasmaran atau jatuh cinta. Namun berahi di sini sebagai "berahi" kepada Allah atau lazim dikatakan "Brai maring Pengeran" (cinta kepada Allah).
Dari berbagai catatan yang ada, seni brai diperkirakan telah dikenal sejak abad ke-13 sebelum berdirinya Kesultanan Cirebon. Diceritakan, berawal dari tiga pemuda Timur Tengah bernama Sayid Abdillah, Abdurrakhman, dan Abdurrakhim diperintahkan orang tuanya mencari seorang bernama Syekh Nur Jati di Tanah Jawa (Cirebon) untuk berguru dan memperdalam ajaran Islam. Selama dalam perjalanan itulah mereka menyenandungkan syair-syair mengenai keagungan Allah dan rasul-Nya, Muhamad saw. Mendengar irama itu, masyarakat yang belum mengenal Islam berbondong-bondong mengikuti tiga pemuda tampan itu dari belakang hingga ke Gunung Ampara Jati pimpinan Syekh Nur Jati (Disbudpar Kota Cirebon, 2006). Brai digelarkan biasanya pada malam Jumat atau pada acara-acara tertentu, seperti mitung wulan, puputan, dan acara-acara lain yang berkaitan dengan syukuran.
Penggunaan genjring sebagai alat tabuh dilakukan juga pada seni rudat. Bedanya irama genjring rudat lebih keras, bergairah, dan beraturan. Sedangkan pada brai, genjring ditabuh dengan sangat lembut dengan diselingi syair-syair keagungan dan ketauhidan. Seni rudat lebih menekankan pada irama yang keras dan diiringi selawat nabi serta tarian pencak silat.
Abtadi-ul imlaa-a bismidzdzatil ‘aliyah (Aku memulai menulis – kisah maulid Nabi Muhammad saw. – ini dengan menyebut nama Allah Zat Yang Mahamulia). Begitulah mereka mengucapkan sebait syair yang ditulis Syaikh Ja’far Al Barzanjie sebagai awal dari lagu-lagu rudat yang akan mereka mainkan. Sudah tentu syair itu diucapkan sebelumnya mereka membaca basmallah.
Syair-syair karya Al Barzanjie memang telah lama menjadi pilihan kaum santri di pinggiran jalur pantura dalam memuja-muji Allah SWT dan memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Mereka melagukannya di masjid-masjid, musala, dan rumah-rumah pada hari-hari tertentu. Mereka terus berupaya mengenang Rasulullah Muhammad melalui syair-syair tersebut.
Pada saat upacara tradisional mitung wulan (tujuh bulan), puputan, khitanan, nyukur (mencukur) rambut jabang bayi yang telah berumur 40 hari atau pada saat-saat sukacita sebagai rasa syukur dan penghormatan terhadap Rasulullah, genjring rudat dimainkan. Beberapa lagu cuplikan dari syair Al Barzanjie yang paling populer, di antaranya Al Muqoddamili dan Al Musaf fa ufil waroo.
Rudat yang diduga berasal kata dari iradat merupakan salah satu sifat Allah Yang Mahaagung, berarti berkehendak. Kehendak Tuhan Yang Mahabenar itulah yang ditafsirkan dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. ke muka bumi sebagai rahmatan lil’alamiin. Rudat kemudian menjadi bentuk kesenian tradisional di Cirebon.
Pada awalnya rudat hanya dimainkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima hingga sepuluh orang. Mereka bermain di masjid dan surau-surau. Dari tempat ini, dakwah Islamiyah dikembangkan sebab dari syair-syair yang dinyanyikan seluruhnya berisi ajaran untuk menyembah Allah Yang Maha Tunggal dan meneladani Rasulullah.
Bentuk seni lain yang serupa, tapi tak sama adalah gembyung. Iramanya lebih halus, demikian pula lagu-lagu yang dibawakannya terasa sangat lembut. Namun, baik rudat, brai, maupun gembyung pada dasarnya memiliki nilai dasar seni yang sama, yakni melagukan selawat nabi.
Pada seputar tahun 1960-an, seni rudat mengalami kejayaannya. Bahkan, kemudian dimodifikasi dengan atraksi-atraksi akrobat yang diramu dengan debus. Kesenian ini pun sempat berganti nama menjadi genjring akrobat.
Marhaban yaa marhaban yaa marhaban, marhaban jaddal husaini marhaban. Yaa nabii salaam ‘alaiika yaa rasuul salaam ‘alaika. Yaa habiib salaam ‘alaika shalawaatullaah ‘alaika. Asyraqal badru’alainaa fakhtafat minhul buduruu. "Selamat datang, selamat datang wahai kakek Hasan dan Husein, selamat datang. Wahai Nabi, semoga kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Wahai Rasul, semoga kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Wahai kekasih, semoga kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Semoga rahmat Allah selalu tercurah kepadamu. Telah terbit bulan purnama kepada kita, maka bersembunyi dan suramlah semua bulan dibandingkan bulan purnama itu…."
Kitab Barzanjie memang memiliki makna tersendiri bagi kaum santri "pinggiran" di sepanjang jalur pantura. Karya sastra terkemuka di Timur Tengah pada seputar abad ke-12 itu telah menjadi bagian kehidupan sastra lisan mereka.


Readmore »